Kota Kudus, selain identik dengan sebutan
kota Kretek juga identik dengan sebutan kota Santri. Kota dengan luas sekitar
40.114.608 ini memiliki sejumlah masjid legendaris yang dibangun semasa
Walisongo berdakwah di pulau Jawa. Sebut saja masjid Madureksan sebagai salah
satunya. Masjid ini berada di desa Kerjasan RT 2 RW 3 Kota Kudus, letaknya
berada di antara kios-kios pedagang kira-kira 30 meter sebelah tenggara masjid
Menara Kudus.
Namun pada kliping di papan informasi di
teras masjid menyebutkan, masjid Madureksan awalnya berdiri di bagian selatan
sekitar 20 meter dari letak masjid sekarang. Dan bekas tempat masjid itu dibuat
sebagai pabrik rokok.
Menurut buku Masjid-Masjid Bersejarah di
Indonesia, bangunan ini berdiri sebelum masjid Menara Kudus, sekitar tahun
1520. Tempat ibadah ini berukuran tengah-tengah antara langgar dan masjid.
Konon dulunya di dekat masjid Madureksan terdapat sebuah pohon beringin yang
telah berusia 400 tahun, ditandai dengan diameter pohon Beringin yang mencapai
ukuran 2 meter. Pohon tersebut digunakan untuk menambat hewan sapi yang
dimuliakan oleh umat Hindu.
Melihat hal itu, Sunan Kudus dengan bijak
menghargai kepercayaan umat Hindu tersebut dengan tidak menyembelih Sapi di
kota ini. Sampai sekarang, tradisi tersebut tetap dipertahankan umat muslim,
khususnya di kota Kudus.
Masjid ini digunakan oleh Kyai Telingsing,
sebagai tempat mengatur siasat perang dan tempat berdiskusi. Suatu saat, pernah ada
dua rekan Kyai telingsing yang sedang beradu argumen. Beliau pun menjadi
penengah dan berkata “Yen kowe pada padu, kowe uga bisa ngreksa” (Jika kamu saling
berdebat, maka kamu juga harus bisa menahan dirimu). Dari ungkapan itulah
masjid ini dinamakan masjid Padureksan.
Dalam catatan sejarah menyebutkan, di depan
masjid tersebut dulunya merupakan tanah lapang yang menyerupai alun-alun.
Halaman depan masjid tersebut sekarang digunakan sebagai area parkir kendaraan
para peziarah.
Sampai saat ini masjid Madureksan tetap
digunakan masyarakat setempat sebagai tempat ibadah. Namun pada tahun 1998,
karena bangunan yang telah dimakan usia dan pondasi rendah yang membuat masjid
ini banjir ketika musim hujan membuat warga setempat merasa perlu untuk
merenovasi masjid tersebut.
Pada saat itu, para tokoh masyarakat dan kyai telah
mendiskusikan segala aspek mengenai perenovasian tersebut. Termasuk salah
satunya adalah mempertahankan bangunan asli yang merupakan warisan para
Walisongo. Karena terkendala oleh dana, maka diputuskan untuk merubah total
bangunan masjid tersebut. Akibatnya adalah, generasi kini dan nanti tidak tahu
bagaimana orang-orang zaman dahulu berkarya yang memiliki makna filosofi.
Sumber : Masjid-Masjid Bersejarah di
Indonesia, Kliping
asal usul masjid Madureksan oleh
@Kudus_ISK

Posting Komentar