Umat Islam Indonesia memilik salah seorang tokoh
falak dari kota Kudus Jawa Tengah yang cukup mumpuni dan layak diteladani.
Beliau adalah KH. Turaichan Adjhuri Asy-Syarofi, yang semasa hidupnya
dipercayai menjadi Ketua Markas Penanggalan Jawa Tengah.
Ulama kelahiran Kudus, 10 Maret 1915 ini adalah
putera Kiai Adjhuri dan Ibu Nyai Sukainah. Terlahir di lingkungan agamis kota
santri, sebagai anak yang membekali dirinya dengan belajar melaui sistem
tradisional masyarakat yang telah turun-temurun dijalani keluarga dan
teman-teman di sekitarnya. Mengaji pada para Kiyai dan ulama di sekitar tempat
tinggalnya dan memulai pendidikan formal di daerah setempat tanpa mengurangi
menimba ilmu dalam sistem tradisional.
Satu hal yang menjadi ciri Mbah Tur,
Sapaan akrabnya, dibanding tokoh-tokoh dari daerah lain adalah bahwa Beliau
tidak pernah mondok di sebuah pesantren sebagai santri yang diasramakan. Meski
sebenarnya hal ini lazim bagi para ulama di daerah asalnya, namun tidaklah
demikian halnya dengan para ulama yang berasal dari daerah-daerah Nusantara
lainnya.
Kiai Turaichan hanya mengenyam pendidikan formal
selama dua tahun saja, yakni ketika berusia tiga belas hingga lima belas tahun.
Tepatnya di Madrasah Tasywiquth Thullab Salafiyyah (TBS) Kudus pada kisaran
tahun 1928 M. yakni sejak madrasah tersebut didirikan. Namun karena kemampuannya
yang melebihi rata-rata, maka beliau justru diperbantukan untuk membantu
palaksanaan belajar mangajar. Namun demikian Beliau tetap melanjutkan menuntut ilmu
dalam garis tradisional (non formal).
Sejak mulai mengajar di Madrasah TBS Kudus inilah, Kiai Turaichan mulai aktif
di dunia pergerakan. Dalam arti Beliau mulai melibatkan diri dalam dunia dakwah
kemasyarakatan dan diskusi-diskusi ilmiah keagamaan. Mulai dari tingkat
terendah di kampung halaman sendiri, hingga tingkat nasional.
Sejak saat itu pula Beliau mulai turut aktif terlibat dalam forum-forum diskusi
Batsul Masail pada muktamar-muktamar NU. Kecerdasan dan Keberaniannya
mengungkapkan argumen telah terlihat sejak awal keterlibatannya dalam
forum-forum tersebut. Ia tanpa segan-segan mengungkapkan pendapatnya di depan
siapa pun tanpa merasa pekewuh jika pendapatnya berbeda dengan pendapat
ulama-ulama yang lebih senior, seperti KH. Bisri Sansuri dari Pati yang
kemudian mendirikan Pesantren Denanyar Jombang.
Kiprahnya Mbah Tur juga telihat dalam dunia politik
di tingat pusat. Beberapa kali Kiai Turaichan ditunjuk menjadi panitia Ad Hoc
oleh pimpinan Pusat Partai NU. Sementara di daerahnya sendiri, tercatat Beliau
menjadi Rais Syuriyah Pimpinan Cabang. Pernah juga dipercaya menjadi qodhi (hakim)
pemerintah pusat pada tahun 1955-1977 M.
Ust. Subchan Habiburrahman Azzuhrie
Posting Komentar