Wanita/istri yang bekerja memang ada keuntungan atau segi
positifnya antara lain: bertambahnya sumber finansial, meluasnya network
(jaringan hubungan), adanya kesempatan menyalurkan bakat dan hobi, terbukanya
kesempatan untuk mewujudkan citra diri yang positif dan lain-lain, namun di
sisi lain kadang-kadang dihadapkan pada resiko yang buruk antara lain:
1. Terabaikannya keluarga karena kesibukan di luar rumah.
2. Terkurasnya tenaga dan pikiran.
3. Sulitnya menghadapi konflik peran antara kedudukan
sebagai ibu rumah tangga dan sebagai wanita karir.
4. Timbulnya stres dan beban pikiran.
5. Berkurangnya waktu untuk diri sendiri dan keluarga.
Resiko ini dapat menyebabkan hilangnya keharmonisan hubungan
dengan keluarga. Jika dibiarkan berlarut-larut, kemungkinan akan terjadi
perceraian yang madlorotnya (bahaya) sangat besar bagi kehidupan masa depan
anak-anak. Meskipun perceraian itu halal, tapi paling dibenci oleh Allah SWT,
sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW :
قَالَ رَسُوْلُ اللّهِ
صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَبْغَضُ اْلحَلاَلِ لطَّلاَقُ
Artinya: “Rasulullah
SAW bersabda: “Hal yang
paling dibenci atau dimarahi oleh Allah adalah cerai“.
Hal ini adalah masalah yang harus segera dilakukan solusinya
antara lain :
1. Melakukan pekerjaan dengan ikhlas karena Allah, jika ada
masalah atau beban, segera dicari pemecahannya, bisa melalui musyawarah dengan
suami dan selalu bertawakkal.
2. Wanita/istri yang bekerja harus bisa membagi waktu untuk
keluarga dan pekerjaan sesuai dengan kebutuhan masing-masing dan harus disiplin
mematuhinya.
3. Tugas istri dalam rumah tangga agar didelegasikan atau
diwakilkan pada orang lain yang dipercaya : pembantu yang lain kecuali dua hal
yang tidak bisa diwakilkan yaitu melayani suami ditempat tidur dan mendidik
anak.
4. Musyawarah dengan suami sehingga tercapai kesepakatan
karena istri membantu suami bekerja di luar rumah, maka suami juga membantu
istri menyelesaikan pekerjaan rumah.
5. Bagi istri/wanita karier dalam mendidik anak-anak yang
diperlukan adalah meningkatkan kualitas pertemuan dengan mereka untuk
menanamkan nilai-nilai agama, moral, sosial, baik secara langsung ataupun tidak
langsung (melalui telepon atau yang lainnya), sehingga anak tetap merasa dalam
perhatian dan pengawasan ibunya meskipun tidak ditunggui.
6. Luangkan waktu untuk berkumpul dengan keluarga dalam
keadaan santai baik di rumah atau rekreasi di tempat wisata sehingga tetap
terjalin hubungan baik dan saling merasa dapat perhatian.
Kemudian mengenai hasil kerja istri ini milik siapa? Menurut
DR. Syaichul Hadi Permono adalah milik istri kalau toh itu untuk nafkah
keluarga maka itu merupakan shodaqoh dari istri.
Akan tetapi, menurut undang-undang perkawinan No. 1 tahun
1974 Bab VII pasal 35 ayat 1 bahwa harta benda diperoleh selama perkawinan
menjadi harta bersama. Dua pernyataan tersebut nampaknya bertentangan, namun
pada hakikatnya adalah senada. Pendapat pertama menekankan sifat yang amat
terpuji bagi istri yang ikhlas untuk membantu kebutuhan suami padahal itu tidak
wajib baginya. Kalau toh hasil kerjanya itu ada yang dipakai istri sendiri
(untuk membeli baju, makanan, menyumbang orang tua dan lain-lain) pada
hakikatnya kebutuhan istri adalah kebutuhan suami juga, maksudnya itu
sebenarnya kebutuhan suami untuk memenuhinya.
Sedangkan pernyataan kedua, mengandung arti jika istri
bekerja, hal ini tidak lepas dari jasa suami, minimal mengizinkan, mendukung
dengan segala resikonya. Selain itu juga, peran kedua belah pihak yang sama
dalam keluarga, sehingga hasil (harta ayang diperoleh) adalah milik bersama.
Bagaimana kalau istri juga bekerja?
Masalahnya, jika suami istri itu salah satu meninggal dunia
atau cerai, bagaimana pembagian harta bersama ini? Yang asal, dalam Islamistri
tidak bekerja dan ditetapkan bagi laki-laki sama dengan dua bagian perempuan
karena Allah mewajibkan laki-laki memberi nafkah keluarga. Jadi harta bersama
dibagi tiga, satu bagian milik istri dan dua bagian milik suami. Allah
berfirman dalam Al Qurán surat An
Nisa‘ ayat 32 yang artinya:
“Dan
janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian
kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada
bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian
dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karuniaNya.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu“.
Juga firman Allah dalam Al Qurán surat Ali Imran ayat 195 yang artinya,“Maka Tuhan mereka
memperkenankan permohonannya (denganberfirman): “Sesungguh -nya aku tidak menyia-nyiakan amal
orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan....”
Dari dua ayat tersebut di atas dapat kita ambil pengertian
bahwa dalam Islam tidak ada diskriminasi bagi wanita, tidak ada jalan atau
alasan untuk merendahkan wanita, semuanya tergantung pada usaha masing-masing,
wanita mempunyai hak dari hasil usahanya sebagaimana pria. Maka dalam pembagian
harta bersama bagi suami istri yang sama-sama bekerja dibagi dua, satu bagian
milik istri dan satu bagian milik suami.
Y.P.P. Nurul Faizah

Posting Komentar